Pertama, harga saham itu sudah turun begitu dalam, sehingga tidak mungkin turun lagi. Investor umumnya yakin, saham yang harganya telah merosot drastis, tidak akan turun lebih rendah lagi. Nyatanya belum tentu.
Contohnya, saham BEST, harganya merosot dari Rp 730 menjadi Rp 294 sepanjang tahun 2015 lalu. Kalau Anda percaya mitos ini dengan membeli saham itu pada harga Rp 294, Anda akan gigit jari karena harga masih saja turun menjadi Rp 197 pada 10 Februari lalu, sebelum berbalik ke Rp 278 akhir pekan lalu.
Kedua, nanti saja beli saham itu kalau harga mencapai titik terendah. Masalahnya, kita tidak pernah tahu harga terbawah sebuah saham. Persis seperti jingle iklan rokok di televisi beberapa tahun lalu, pada saat harga saham anjlok, investor hanya bisa bertanya, "How low can you go?"
Saham BUMI yang pernah dihargai Rp 8.500 pada Juli 2008, sehingga menjadikannya saham berkapitalisasi terbesar di bursa kita, harganya merosot menjadi sekitar Rp 500 hanya dalam enam bulan setelah itu.
Kemudian, harga naik lagi ke kisaran Rp 3.000 di sekitar tahun 2011. Memasuki tahun 2012, harga terus turun, hingga menyentuh harga terendah Rp 50 sejak Agustus 2015.
Menurut Lynch, menebak harga terendah sebuah saham yang sedang turun, mirip seperti menangkap pisau yang sedang jatuh. Pisau tidak didapat, tangan malah terluka.
Ketiga, saya tidak mau menjual rugi (cut loss) saham saya. Nanti saja kalau harganya kembali ke harga beli saya, baru saya jual. Mengetahui harga saham turun -naik, Anda boleh saja berprinsip seperti itu.
Sebagai investor individu, Anda bebas memutuskan apa saja untuk uang dan portofolio Anda. Harga saham mungkin saja kembali naik seperti harapan Anda. Tapi, siapa yang dapat memastikan hal itu terjadi dalam waktu dekat. Bagaimana kalau lima tahun lagi? Kalau fundamental perusahaan dan prospek industrinya jelek, sebaiknya Anda bersikap realistis dan berani cut loss.
Lihat bagaimana harga-harga saham batubara terus turun lima tahun terakhir ini. Saham perusahaan sebagus Indo Tambangraya Megah (ITMG), harus mengalami. Pernah berharga di atas Rp 50.000 lima tahun lalu, saham ini kemudian terjun bebas, hanya Rp 4.800 pada awal Februari lalu dan kini berada di Rp 7.200.
Mengaku salah dan bersedia menerima kerugian adalah sangat manusiawi dalam investasi saham. Harga saham dalam satu tahun bisa turun sampai -91% pada tahun 2015 (saham TAXI), yaitu dari Rp 1.170 menjadi hanya Rp 105.
Sadarlah, tidak ada investor saham yang tidak pernah mengalami kerugian. Semua investor pasti pernah salah pilih. Anda masih dinilai jago bermain saham, jika kesalahan pilih hanya 1 dari 5 saham atau 2 dari 5 saham.
Jangan pernah bermimpi pemilihan saham Anda akan selalu tepat. Karena itu, jangan takut melakukan cut loss. Manajer investasi sering dan harus melakukannya. Menjadi aneh jika perusahaan asuransi badan usaha milik negara (BUMN) dan juga dana pensiun (Dapen) BUMN tidak pernah dibolehkan menjual rugi.
Keempat, harga sahamnya sudah meroket tinggi, sehingga tidak mungkin naik lagi. Investor saham HMSP yang membeli pada harga Rp 70.000 per saham di pertengahan tahun 2015 dan menjual di harga Rp 90.000 sekitar tiga bulan, kemudian banyak yang menyesal ketika menyaksikan harga emiten tersebut mencapai Rp 105.000 per saham di awal tahun 2016.
Kelima, kalau harga saham sudah naik 50%, cepat-cepat merealisasikan keuntungan Anda. Mitos ini berlawanan dengan mitos ketiga. Jika percaya dua mitos ini, Anda masih memerlukan banyak jam terbang untuk menjadi investor piawai. Bukan apa-apa, menerapkan dua mitos ini, akan menyebabkan Anda membatasi keuntungan tetapi tidak membatasi kerugian.
Artinya, Anda siap menerima kerugian berapapun, tapi tidak siap mendapatkan return di atas 50%. Nyatanya, 13 saham di bursa kita pada tahun lalu, harganya naik tidak kurang dari 100% dalam setahun. Sekadar Anda ketahui, return rata-rata 20 saham top gainers di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2015, saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 12,1%, adalah 145,9% (78,2% hingga 336,2%).
Keenam, belilah saham perusahaan bagus itu atau hindari saham perusahaan jelek itu. Ketika membeli saham di pasar modal, banyak investor gagal membedakan antara saham bagus dan perusahaan bagus.
Saham bagus tidak sama dengan perusahaan bagus. Saham yang bagus (good stocks) adalah saham berharga bagus atau saham yang menjanjikan return yang besar di masa depan. Sedangkan perusahaan bagus (good company) ukuran sederhananya adalah perusahaan yang mempunyai rating bagus, minimal triple B sebagai batas rating layak investasi.
Tip dari saya, dalam berinvestasi saham langsung, jangan ragu bertanya dan belajar kepada yang berpengalaman. Serta jangan malas untuk membaca dan mencari informasi.
Malu bertanya, rugi di kantong.
by : Budi Frensidy
Tambahan: tulisan Pak Budi di atas dari Peter Lynch: 12 kesalahan investasi di buku One Up On Wallstreet.
Bagi yang ingin ebook One Up On Wallatreet karangan Peter Lynch bisa langsung balas chat ini.
Thanks,
Hariadi
082167608355
0 comments:
Post a Comment